Label

Rabu, 25 Januari 2012

PENDIDIKAN KARAKTER



TUGAS RESUME
PENDIDIKAN KARAKTER

Pengarang: Drs. Dharma Kesuma, M.Pd


Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Pengetahuan Sosial

Dosen: Ana Nurhasana, S.Pd









Disusun oleh:
Nama             : Resa Yetiana
NIM                 : 2227112366
Kelas              : e
Jurusan         : PGSD



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG – BANTEN

PENDIDIKAN KARAKTER


I.  PENDIDIKAN KARAKTER

A.   Pengertian Karakter
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.
Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, dan nilai-nilai lainnya. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.

B.   Pengertian Pendidikan Karakter
Menurut Elkind & Sweet (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

OLAH PIKIR
Cerdas

OLAH HATI
Jujur
Bertanggung jawab


OLAH RAGA
Bersih, Sehat, Menarik

OLAH RASA dan KARSA
Peduli dan Kreatif


C.   Tahapan Pengembangan Karakter
Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan membentuk karakter anak melalui orang tua dan lingkungannya.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

D.   Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.    Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
2.    Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku
3.    Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
4.    Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
5.    Memberi kesempatan kpeada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik
6.    Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses
7.    Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik
8.    Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama
9.    Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter
10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter posisitf dalam kehidupan peserta didik.

II. PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER
A.   Hakekat Pendidikan Karakter
Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilainilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025). Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.”
Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional-UUSPN).
Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh untuk melaksanakan secara operasional pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai prioritas program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010): pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

B. Tujuan, Fungsi dan Media Pendidikan karakter
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.

C. Nilai-nilai Pembentuk Karakter
Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun.
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab (Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10.
Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.

III. STRATEGI PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER
A.    Strategi di Tingkat Kementerian Pendidikan Nasional
Pendekatan yang digunakan Kementerian Pendidikan Nasional dalam pengembangan pendidikan karakter, yaitu: pertama melalui stream top down; kedua melalui stream bottom up; dan ketiga melalui stream revitalisasi program.
Strategi yang dimaksud secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Stream Top Down
Jalur/aliran pertama inisiatif lebih banyak diambil oleh Pemerintah/ Kementerian Pendidikan Nasional dan didukung secara sinergis oleh Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam stream ini pemerintah menggunakan lima strategi yang dilakukan  secara koheren, yaitu:
a.    Sosialisasi
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan karakter pada lingkup/tingkat nasional, melakukan gerakan kolektif dan pencanangan pendidikan karakter untuk semua.
b.  Pengembangan regulasi
Untuk terus mengakselerasikan  dan membumikan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter, Kementerian Pendidikan Nasional bergerak mengonsolidasi diri di tingkat internal dengan melakukan upaya-upaya  pengembangan  regulasi  untuk  memberikan payung hukum yang kuat bagi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pendidikan karakter.
c.   Pengembangan kapasitas
Kementerian  Pendidikan  Nasional  secara  komprehensif  dan  massif  akan  melakukan upaya-upaya pengembangan kapasitas sumber daya pendidikan karakter. Perlu disiapkan satu sistem pelatihan bagi para pemangku kepentingan pendidikan karakter yang akan menjadi aktor terdepan dalam mengembangkan dan mensosialisikan nilai-nilai karakter.
d.   Implementasi dan kerjasama
Kementerian Pendidikan Nasional mensinergikan berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter di lingkup tugas pokok, fungsi, dan sasaran unit utama.
e.   Monitoring dan evaluasi
Secara komprehensif Kementerian Pendidikan Nasional akan melakukan monitoring dan evaluasi terfokus pada tugas, pokok, dan fungsi serta sasaran masing-masing unit kerja baik di Unit Utama maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, serta Stakeholder pendidikan lainnya. Monitoring dan evaluasi sangat berperan dalam mengontrol dan mengendalikan pelaksanaan pendidikan karakter di setiap unit kerja.

2.    Stream Bottom up
Pembangunan pada jalur/tingkat (stream) ini diharapkan dari inisiatif yang datang dari satuan pendidikan. Pemerintah memberikan bantuan teknis kepada  sekolah-sekolah yang telah mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter sesuai dengan ciri khas di lingkungan sekolah tersebut.

3.    Stream Revitalisasi Program
Pada jalur/ tingkat ketiga, merevitalisasi kembali program-program kegiatan pendidikan karakter di mana pada umumnya banyak terdapat pada kegiatan ekstrakurikuler yang sudah ada dan sarat dengan nilai-nilai karakter.

B.    Strategi di Tingkat Daerah
Ada beberapa langkah yang digunakan pemerintah daerah dalam pengembangan pendidikan karakter, dimana semuanya dilakukan secara koheren.
1.    Penyusunan perangkat kebijakan di tingkat kabupaten/kota.
Pendidikan adalah tugas sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Untuk mendukung terlaksananya pendidkan karakter di tingkat satuan pendidikan sangat dipengaruhi dan tergantung pada kebijakan pimpinan daerah yang memiliki wewenang untuk mensinerjikan semua potensi yang ada didaerah tersebut termasuk melibatkan instansi-instansi lain yang terkait dan dapat menunjang pendidikan karakter ini. Untuk itu diperlukan dukungan yang kuat dalam bentuk payung hukum bagi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan karakter.
2.    Penyiapan dan penyebaran bahan pendidikan karakter  yang diprioritaskan
Bahan pendidikan karakter yang dibuat dari pusat, sebagian masih bersifat umum dan belum mencirikan kekhasan daerah tertentu. Oleh karena itu diperlukan penyesuaian dan penambahan baik indikator maupun nilai itu sendiri berdasarkan kekhasan daerah. Selain itu juga perlu disusun strategi dan bentuk-bentuk dukungan untuk menggandakan dan menyebarkan (bukan hanya dikalangan persekolahan tapi juga di lingkungan masyarakat luas).
3.    Memberikan dukungan kepada Tim Pengembang Kurikulum (TPK) tingkat kabupaten/kota melalui Dinas Pendidikan
Pembinaan persekolahan untuk pendidikan karakter yang bersumber nilai-nilai yang diprioritaskan sebaiknya dilakukan terencana dan terprogram dalam sebuah program  di dinas pendidikan. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan oleh tim professional tingkat daerah seperti tim TPK Kabupaten/kota.

4.    Dukungan sarana, Prasarana, dan Pembiayaan
Dukungan sarana, prasarana, dan pembiayaan ditunjang bukan hanya oleh dinas pendidikan tapi      juga    oleh    dinas-dinas   lain yang terkait seperti dinas pertamanan/pertanian dalam mengadakan tanaman hias atau tanaman produktif.

C.    Strategi di Tingkat Satuan Pendidikan
Strategi pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan merupakan suatu kesatuan  dari program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum oleh setiap satuan pendidikan.  Strategi tersebut  diwujudkan  melalui       pembelajaran aktif  dengan  penilaian  berbasis  kelas  disertai dengan  program remidiasi dan pengayaan.
1.     Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu untuk  membuat hubungan antara  pengetahuan  yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, melalui pembelajaran kontekstual peserta didik lebih memiliki hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga).
Pembelajaran kontekstual  mencakup  beberapa  strategi, yaitu: (a)  pembelajaran berbasis masalah, (b) pembelajaran kooperatif, (c) pembelajaran berbasis proyek, (d) pembelajaran pelayanan, dan (e) pembelajaran berbasis kerja. Kelima strategi tersebut dapat memberikan nurturant effect pengembangan karakter peserta didik, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, rasa ingin tahu.
2.    Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar
Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu:
a.    Kegiatan rutin
Kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksanaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdo’a sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman.
b.    Kegiatan spontan
Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana.
c.    Keteladanan
Merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Misalnya nilai disiplin, kebersihan dan kerapihan, kasih sayang, kesopanan, perhatian, jujur, dan kerjakeras.
d.    Pengkondisian
Pengkondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas.

3.    Kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler
Demi terlaksananya kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler yang mendukung pendidikan karakter, perlu didukung dengan dengan perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka mendukung pelaksanaan pendidikan karakter, dan revitalisasi kegiatan ko dan ekstrakurikuler yang sudah ada ke arah pengembangan karakter.

4.    Kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat
Dalam  kegiatan  ini  sekolah  dapat  mengupayakan  terciptanya  keselarasan  antara karakter yang dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan di rumah dan masyarakat.

D.    Penambahan Alokasi Waktu Pembelajaran
Apabila pendidikan karakter diintegrasikan dalam ko-kurikuler dan ekstrakurikuler akan memerlukan waktu sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Untuk itu, penambahan alokasi waktu pembelajaran dapat dilakukan, misalnya:
1.    Sebelum pembelajaran di mulai atau setiap hari seluruh siswa diminta membaca surat-surat pendek dari kitab suci, melakukan refleksi (masa hening) selama 15 s.d 20 menit.
2.    Di hari-hari tertentu sebelum pembelajaran dimulai dilakukan kegiatan  muhadarah (berkumpul dihalaman sekolah) selama 35 menit. Kegiatan itu berupa baca Al-Quran dan terjemahan, maupun siswa berceramah dengan tema keagamaan sesuai dengan kepercayaan masing-masing dalam beberapa bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Daerah, serta bahasa asing lainnya), kegiatan ajang kreatifitas seperti: menari, bermain musik dan baca puisi. Selain itu juga dilakukan kegiatan bersih lingkungan dihari Jum’at atau Sabtu (Jum’at/Sabtu bersih).
3.    Pelaksanaan ibadah bersama-sama di siang hari selama antara 30 s.d 60 menit.
4.    Kegiatan-kegiatan lain diluar pengembangan diri, yang dilakukan setelah jam pelajaran selesai.
5.    Kegiatan untuk membersihkan lingkungan sekolah sesudah jam pelajaran  berakhir berlangsung selama antara 10 s.d 15 menit.

E.    Penilaian Keberhasilan
Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan melalui berbagai program penilaian dengan membandingkan kondisi awal dengan pencapaian dalam waktu tertentu. Penilaian keberhasilan tersebut dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
1.   Menetapkan indikator dari nilai-nilai yang ditetapkan atau disepakati
2.   Menyusun berbagai instrumen penilaian
3.   Melakukan pencatatan terhadap pencapaian indikator
4.   Melakukan analisis dan evaluasi
5.   Melakukan tindak lanjut

IV. PENDIDIKAN KARAKTER SECARA TERINTEGRASI
      DALAM PROSES PEMBELAJARAN

A.   Pengertian Pendidikan Karakter secara Terintegrasi di Dalam Proses Pembelajaran
Yang dimaksud dengan pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.

B.   Nilai-nilai Karakter untuk Siswa
Nilai-nilai utama sebagai fokus tersebut dapat berupa nilai-nilai yang secara nasional dan/atau universal (lintas agama/keyakinan dan lintas bangsa/ras/etnis) dianut. Nilai-nilai lainnya dapat terinternalisasikan secara otomatis sebagai akibat iringan/ikutan dari proses internalisasi nilai-nilai utama tersebut.
Penekanan internalisasi nilai-nilai utama tertentu pada pendidikan karakter telah dianut oleh sejumlah negara. Australia, misalnya, melalui Values Education (Pendidikan Nilai) yang dikembangkannya menekankan pada diperkenalkan, disadari, dan diinternalisasinya sembilan karakter utama, yaitu:
1.    Care and compassion
2.    Doing your best
3.    Fair go
4.    Freedom
5.    Honesty and trustworthiness
6.    Integrity
7.    Respect
8.    Responsibility
9.    Understanding, tolerance, and inclusion
Berikut merupakan nilai-nilai karakter yang dapat dijadikan sekolah sebagai nilai-nilai utama yang diambil/disarikan dari butir-butir SKL dan mata pelajaran yang ditargetkan untuk diinternalisasi oleh siswa:
1.    Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
a.    Religius
2.    Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a.    Jujur
b.    Bertanggung jawab
c.    Bergaya hidup sehat
d.    Disiplin
e.    Kerja keras
f.     Percaya diri
g.    Berjiwa wirausaha
h.    Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
i.      Mandiri
j.      Ingin tahu
k.    Cinta ilmu
3.    Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a.    Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
b.    Patuh pada aturan-aturan sosial
c.    Menghargai karya dan prestasi orang lain
d.    Santun
e.    Demokratis
5.    Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
a.    Peduli sosial dan lingkungan
6.    Nilai kebangsaan
a.    Nasionalis
b.    Menghargai keberagaman

C.   Pelaksanaan Pendidikan Karakter Secara Terintegrasi Di Dalam Proses Pembelajaran
1.    Pembelajaran Kontekstual
Pada dasarnya pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru dalam mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Pembelajaran kontekstual menerapkan sejumlah prinsip belajar. Prinsip-prinsip tersebut secara singkat dijelaskan berikut ini.
a.    Konstruktivisme (Constructivism)
Konstrukstivisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa orang menyusun atau membangun pemahaman mereka dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal dan kepercayaan mereka. Seorang guru perlu mempelajari budaya, pengalaman hidup dan pengetahuan, kemudian menyusun pengalaman belajar yang memberi siswa kesempatan baru untuk memperdalam pengetahuan tersebut.

b.    Bertanya (Questioning)
Penggunaan pertanyaan untuk menuntun berpikir siswa lebih baik daripada sekedar memberi siswa informasi untuk memperdalam pemahaman siswa. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang fenomena, belajar bagaimana menyusun pertanyaan yang dapat diuji, dan belajar untuk saling bertanya tentang bukti, interpretasi, dan penjelasan. Pertanyaan digunakan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
1)    menggali informasi, baik teknis maupun akademis
2)    mengecek pemahaman siswa
3)    membangkitkan respon siswa
4)    mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
5)    mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
6)    memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
7)    menyegarkan kembali pengetahuan siswa

c.    Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, yang diawali dengan pengamatan dari pertanyaan yang muncul. Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut didapat melalui siklus menyusun dugaan, menyusun hipotesis, mengembangkan cara pengujian hipotesis, membuat pengamatan lebih jauh, dan menyusun teori serta konsep yang berdasar pada data dan pengetahuan.
Langkah-langkah kegiatan inkuiri:
1)   merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)
2)   Mengamati atau melakukan observasi
3)   Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain
4)   Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau yang lain

d.    Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar adalah sekelompok siswa yang terikat dalam kegiatan belajar agar terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai kesempatan untuk bicara dan berbagi ide, mendengarkan ide siswa lain dengan cermat, dan bekerjasama untuk membangun pengetahuan dengan teman di dalam kelompoknya. Konsep ini didasarkan pada ide bahwa belajar secara bersama lebih baik daripada belajar secara individual.
Praktik masyarakat belajar terwujud dalam:
1)    Pembentukan kelompok kecil
2)    Pembentukan kelompok besar
3)    Mendatangkan „ahli‟ ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, petani, polisi, dan lainnya)
4)    Bekerja dengan kelas sederajat
5)    Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
6)    Bekerja dengan masyarakat

e.    Pemodelan (Modeling)
Pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar. Pemodelan tidak jarang memerlukan siswa untuk berpikir dengan mengeluarkan suara keras dan mendemonstrasikan apa yang akan dikerjakan siswa. Pada saat pembelajaran, sering guru memodelkan bagaimana agar siswa belajar. Guru menunjukkan bagaimana melakukan sesuatu untuk mempelajari sesuatu yang baru. Guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Contoh praktik pemodelan di kelas:
1)    Guru olah raga memberi contoh berenang gaya kupu-kupu di hadapan siswa
2)    Guru PKn mendatangkan seorang veteran kemerdekaan ke kelas, lalu siswa diminta bertanya jawab dengan tokoh tersebut
3)    Guru Geografi menunjukkan peta jadi yang dapat digunakan sebagai contoh siswa dalam merancang peta daerahnya
4)    Guru Biologi mendemonstrasikan penggunaan thermometer suhu badan

f.     Refleksi (Reflection)
Refleksi memungkinkan cara berpikir tentang apa yang telah siswa pelajari dan untuk membantu siswa menggambarkan makna personal siswa sendiri. Di dalam refleksi, siswa menelaah suatu kejadian, kegiatan, dan pengalaman serta berpikir tentang apa yang siswa pelajari, bagaimana merasakan, dan bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru tersebut. Refleksi dapat ditulis di dalam jurnal, bisa terjadi melalui diskusi, atau merupakan kegiatan kreatif seperti menulis puisi atau membuat karya seni.
Realisasi refleksi dapat diterapkan, misalnya pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Hal ini dapat berupa:
1)    pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh siswa hari ini
2)    catatan atau jurnal di buku siswa
3)    kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari ini
4)    diskusi
5)    hasil karya



g.    Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu istilah yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif. Berbagai metode tersebut memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan masalah, atau mengekspresikan pengetahuannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan sekolah. Berbagai simulasi tersebut semestinya dapat mengekspresikan prestasi (performance) yang ditemui di dalam praktek dunia nyata seperti tempat kerja. Penilaian autentik seharusnya dapat menjelaskan bagaimana siswa menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki lebih dari satu solusi yang benar. Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria yang dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian.


V. PENDIDIKAN KARAKTER  SECARA TERPADU
    MELALUI MANAJEMEN SEKOLAH
A.   Pengertian Manajemen Sekolah yang Berkarakter
Manajemen adalah pemanfaatan dan pemberdayaan seluruh sumber daya (manusia dan sumber-sumber lainnya), melalui suatu proses dan pendekatan dalam rangka mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Dalam manajemen, proses ini terkait dan melibatkan organisasi, arahan, koordinasi dan evaluasi orang-orang guna mencapai tujuan tersebut. Proses tersebut meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Esensi manajemen adalah bekerja dengan orang lain agar mencapai hasil yang diharapkan. Melalui manajemen, dilakukan proses pengintegrasian berbagai sumber daya dan tugas untuk mencapai berbagai tujuan yang telah ditentukan. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sekolah, tujuan yang dimaksud adalah tujuan kurikuler yang dirumuskan berdasarkan tujuan kelembagaan dan tujuan pendidikan.
Manajemen sekolah yang berkarakter baik (mengandung nilai-nilai karakter) adalah pemanfaatan dan pemberdayaan seluruh sumber daya yang dimiliki sekolah, melalui proses dan pendekatan dalam rangka mencapai tujuan secara efektif dan efisien, berdasarkan dan mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma yang luhur, baik terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama manusia, berbangsa maupun lingkungan. Dalam pengertian ini pendidikan karakter tidak dimaksudkan sebagai payung manajemen sekolah, melainkan sebagai upaya menerapkan nilai-nilai karakter dalam penyelenggaraan manajemen di sekolah, atau dengan kata lain bahwa nilai-nilai karakter ditanamkan secara terpadu ke dalam pengelolaan sekolah.

B.   Prinsip-prinsip Implementasi Manajemen Sekolah yang Berkarakter
Dalam implementasi manajemen sekolah yang mengandung nilai-nilai karakter terdapat prinsip-prinsip yang hendaknya diterapkan oleh sekolah antara lain:
1.    Kejelasan tugas dan pertanggungjawaban
Prinsip ini menekankan bahwa di sekolah hendaknya ada kejelasan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) setiap person yang ada, sehingga tertuang secara jelas tugas masing-masing personil di sekolah. Dalam mengimplementasikan prinsip ini, hendaknya tercermin antara lain nilai-nilai amanah, terbuka, dan tanggung jawab. Artinya, pada saat seseorang diberi tugas maka yang menjadi dasar penugasan tersebut adalah, apakah orang yang akan diberi tugas itu amanah atau tidak, bukan karena faktor kedekatan atau pilih kasih. Terbuka, artinya memberikan kesempatan kepada semua orang yang memenuhi kriteria untuk diberi tugas itu. Kemudian, pihak-pihak yang terkait dengan hal tersebut hendaknya melakukan prosedur dan mekanisme secara bertanggung jawab sehingga hasil dari keseluruhan proses dapat dipertanggung jawabkan.

2.    Pembagian kerja berdasarkan the right man on the right place
Prinsip ini mengarahkan bahwa dalam memberikan tugas atau pekerjaan kepada seseorang, hendaknya didasarkan pada keahlian dan kemampuan yang bersangkutan. Penempatan seseorang dalam suatu jabatan harus sesuai dengan tuntutan job discription dari posisi yang akan ditempati, dan orang yang akan diberi tugas hendaknya memenuhi kriteria yang disyaratkan. Dalam mengimplementasikan prinsip ini, hendaknya tercermin antara lain nilai-nilai rasional, komitmen, dan berpikir jauh ke depan. Artinya, penempatan orang pada posisi tertentu hendaknya didasarkan pada pertimbangan yang masuk akal karena yang bersangkutan memiliki komitmen yang tinggi dan hal tersebut diarahkan pada tercapainya tujuan yang hendak dicapai di masa depan.

3.    Kesatuan arah kebijakan
Prinsip ini menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan sekolah, hendaknya ada kesatuan arah kebijakan yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan bagi warga sekolah sehingga tidak terjadi simpang siur dan kebingungan. Atau dengan kata lain perlu dihindari terjadinya kebijakan yang tumpang tindih dan kontradiktif. Dalam mengimplementasikan prinsip ini, hendaknya tercermin antara lain nilai-nilai bijaksana, demokratis, dan manusiawi. Artinya, penetapan kesatuan arah kebijakan tersebut hendaknya dilaksanakan secara bijaksana, dengan mempertimbangkan dan mengakomodasikan masukan dan aspirasi yang berkembang serta dilakukan secara persuasif dan manusiawi.