Label

Senin, 08 Agustus 2011

Moral Agama di lingkungan masyarakat


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk Allah yang dianugrahi potensi untuk mengimani Allah dan mengamalkan ajaran-Nya. Karena fitrah inilah manusia dijuluki homo religius, makhluk beragama. Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang. Namun dalam perkembangannya manusia sangat tergantung kepada proses pendidikan yang diterima (faktor lingkungan). Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk pada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan kepada-Nya., baik yang bersifat hablumminallah dan hablumminanas. Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahamamn, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap nilai-nilai agama. Dalam internalisasi nilai-nilai agama ada dua faktor yang mempengaruhi individu yaitu faktor intrenal dan ekternal. Dalam makalah yang kami susun ini. Kami akan membahas khusus “Faktor Ekternal Internalisai nilai agama”. Yang kami himpun dari berbagai sumber guna keakuratan teori yang didapat.
1.2    Batasan Masalah
Sebelum merumuskan masalah yang dihadapi, perlu melakukan identifikasi terlebih dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa permasalahan muncul adalah.Bagaimanakah pengaruh keluraga terhadap perkembangan nilai-nilai agama pada diri anak?
1.      Bagaimanakah pengaruh lingkungan sekolah terhadap perkembangan nilai-nilai agamam pada diri anak ?
2.      Bagaimana pengaruh lingkungan masyarakat terhadap perkembangan nilai-nilai agama pada diri anak  ?
1.3    Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1.      Memahami faktor ekternal internalisasi nilai-nilai agama pada diri anak.
2.      Memahami pengaruh dari faktor ekternal internalisasi nilai-nilai agama pada diri anak.
3.      Memahami peranan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat internalisasi nilai-nilai agama.















BAB II
PEMBAHASAN

Fitrah beragama (taqwa) merupakan potensi yang mempunyai kecendrungan untuk berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan manakal tidak ada faktor luar (ekternal) yang memberikan pendidikan yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor ekternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu itu hidup, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
2.1.  Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan potesi lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga (orang tua) dalam perkembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan. QS. At-Tahrim (66):6, menunjukan bahwa orangtua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada anak dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka. Terjemahan ayat tersebut adalah “Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah  yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting yang lain bagi anak. Keluarga adalah tempat yang penting dimana anak akan pemperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang berhasil di masyarakat. Keluarga sebagai landasan bagi anak memberikan berbagai  macam bentuk dasar :
  1. Di dalam keluarga yang teratur dengan baik dan sejahtera, seorang anak akan memperoleh latihan-latihan dasar dalam mengembangkan sikap sosial yang baik dan kebiasaan berprilaku.
  2. Di dalam keluarga dan hubungan-hubungan antar anggota keluarga terbentuklah pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial dan interaksi sosial yang lebih luas.
  3. Dalam ikatan keluarga yang akrab dan hangat, seorang anak akan memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab yang diharapkan.
  4. Bilamana menghadapi seseorang dalam pergaulan yang santai dan menganggap hidup itu selalu membahagiakan, akan diketahui bahwa latar belakang kehidupan keluargannya, menyebabkan ia selalu melihat sisi positif dalam kehidupannya ( Singgih, 2004:28)
Keluarga memiliki fungsi, yaitu:
  1. Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak
  2. Memberikan afeksi atau kasih sayang, dukugnan dan keakraban
  3. Mengembangkan kepribadian.
  4. Mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung jawab.
  5. Mengajarkan dan meneruskan adat istiadat, kebudayaan, agama, sistem nilai moral kepada anak. ( Singgih, 2004:30.)
Mengenai pentingnya peranan orangtua dalam pendidikan agama bagi anak, Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani, atau majusi”. Salah seorang ahli psikologi, yaitu Hurlock (1956:434) berpendapat bahwa keluarga merupakan “Training Cemtre” bagi penanaman nilai-nilai (termasuk juga nilai-nilai agama). Pendapat ini menunjukan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat latihan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai (tata krama, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau menerapkannnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun sosial kemasyarakatan. Peranan keluarga ini terkait dengan upaya-upaya orangtua dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada anak, yang prosesnya berlangsung pada masa pra lahir (dalam kandungan) dan pasca lahir. Pentingnya penanaman nilai agam pada masa pra lahir, didasarkan kepada pengamatan para ahli psikologi terhadap orang-oragn yang mengalami gangguan jiwa. Hasil pengamatan tersebut menunjukan bahwa gangguan jiwa mereka dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orangtua (terutama ibu) pada masa mereka berada dalam kandungan.
Upaya orangtua dalam mengembangkan jiwa beragama anak pada masa kandungan dilakukan secara tidak langsung, karena kegiatannya bersifat pengembangan sikap, kebiasaan, dan perilaku-perilaku keagamaan pada diri orangtua itu sendiri. Upaya-upaya yang seyogyanya dilakukan orangtua (khususnya ibu) pada masa akan dalam kandungan itu diantaranya sebagai berikut:
  1. Membaca doa pada saat berhubungan suami-istri yaitu: “Allahuma jannibnasysyaithana, wajannibisysyaithana minma razaqtana” ( ya Allah jauhkanlah kami dari godaan syaithan, dan jauhkanlah gangguan syaithan dari rizki (anak) yang engkau anugrahkan kepada kami).
  2. Meningkakan kualitas ibadah shalat wajib dan sunnah
  3. Melaksanakan shalat sunnah tahajjud
  4. Mentadarrus al-Qur’an sampai khatam dan mempelajari tafsirnya.
  5. Memperbanyak dzikir kepada Allah, terutama setelah shalat fardlu.
  6. Memanjatkan doa kepada Allah yang terkait dengan permohonan untuk memperoleh keturunan yang shalih. Doa itu di antaranya, “Rabbana hablana min azwajina wadzurriyyatina qurrata ‘ayun waj’alna lilmuttaqina imama” ( Ya Allah Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami = suami/istri dan keturunan kami yang membahagiakan mata hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa);
  7. Memperbanyak shadaqah kepada fakir msikin atau yatim piatu
  8. Menjauhkan diri dari makanan atau minuman yang diharamkan Allah, seperti meminum minumman keras, dan narkoba.
  9. Memelihara diri dari ucapan atau perbuatan yang diharamka Allah, seperti menggunjing, menghina orang lain dan bertengkar.
Adapun upaya-upaya yang seyogayanya dilakukan orangtua setelah anak lahir, di antaranya sebagai berikut:
  1. Pada saat anak berusia tujuh hari, lakukanlah aqiqah, sebagai sunnah Rasulullah saw,
  2. Orangtua hendaknya mendidik anak tentang ajaran agama, seperti rukun iman, rukun islam, cara-cara berwudhu, bacaan dan gerakan shalat, doa-doa, baca tulis Al-Qur’an, meghafal Al-Qur’an, berdzikir, hukum-hukum (haram, halal, wajib dan sunnah) dan akhlak terpuji.
  3. Orangtua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga ( ayah-ibu, orangtua-anak, dan anak-anak).
  4. Karena orangtua merupakan pembina pribadi atau akhlak anak yang pertama, dan sebagai tokoh yang diidentifikasi, diimitasi, atau ditiru oleh anak, maka seyogyanya mereka memiliki kepribadian yang baik atau berakhlakul karimah.
  5. Orangtua hendaknya memperlaukan anak dengan cara yang baik. Sikap dan perilaku oranmgtua yang baik diantaranya : 1) memberikan curahan kasih sayang yang ikhlas, 2) menerima anak sebagimana adanya, 3) bersikap atau menghormati pribadi anak, 4) mau mendengar keluhan anak, 5) memaafkan kesalahan anak, dan, 6) memperbaiki kesalahan anak dengan pertimbangan atau alasan-alasan yang tepat.
  6. Orang tua hendaknya tidak memperlakukan anak secara otoriter (perlakukan yang keras), karena akan mengakibatkan perkembagan pribadi atau akhlak akan yang tidak baik, dan juga tidak permisif, karena akan mengakibatkan berkembangnya anak yang kurang bertanggungjawab, atau kurang memperhatikan tata nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat.
Terkait dengan upaya mendidik anak agar berakhlak mulia, Imam Al-Ghazali memberikan fatwa kepada para orangtua agar mereka melakukan kegiatan-kegiatan berikut:
  1. Menjauhan anak dari pergaulan yang tidak baik
  2. Membiasakan anak untuk bersopan-santun
  3. Memberikan pujian kepada anak yang melakukan amal shalih, misalnya berperilaku sopan, dan menegur anak yang melakukan perbuatan buruk.
  4. Membiasakan anak untuk berpakaian yang bersih dan rapih
  5. Menganjurkan anak untuk berolahraga
  6. Menanamkan sikap sederhana kepada anak
  7. Mengizinkan anak untuk bermain setelah belajar.
Keluarga sebagai tempat pembentukan konsep diri realistik dan keterampilan sosial. Latihan awal dalam menghadapi kegagalan dan keberhasilan terjadi dalam keluarga. Keluarga merupakan tempat bagi anak untuk melakukan uji coba dalam mengenal kenyataan, yaitu uji coba untuk mendapatkan cara terbaik untuk mennghadapinya (Tim Pustaka Familia, 2006:41)
2.2.  Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional), sosial, maupun moral-spiritual.  Menurut Hurlock (1959) sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari orangtua.
Mengenai peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya. Dalam akitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak, atau siswa, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama. Upaya-upaya itu adalah sebagai berikut:
  1. Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode)  yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya.
  2. Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (kontekstual).
  3. Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).
  5. Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.
  6. Guru hendaknya memahami ilmu-ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan, bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikanm teknik evaluasi, dan psikologi belajar agama.
  7. Pimpinan sekolah, guru-guru dan pihak sekolah lainnya hendaknya memberikan contoh, tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama, seperti dalam melaksanakan ibadah shalat, menjalin tali persaudaraan, memelihara kebersihan, mengucapkan dan menjawab salam, semangat dalam menuntut ilmu, dan berpakaian muslim/muslimat (menutup aurat).
  8. Guru-guru yang mengajar bukan pendidikan agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya.
  9. Sekolah hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya secara optimal.
  10. Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin (Yusuf, 2002:49-51).
2.3.  Lingkungan masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah interaksi sosial dan sosiokulktural yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak (terutama remaja).
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; demikian pula halnya degan aspek moral pada anak. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannnya mengenai bagaimana ia harus bertingkahlaku yang baik dan tingkah laku yang dikatakan salah atau tidak baik (Singgih, 2008:61). Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukan kebobrokan moral, maka anak cenderung akan terpegaruh untuk berprilaku seperti temannya tersebut. Al ini terjadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orangtuanya (Yusuf, 2002:53)
Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock (1956:436) mengemukakan, bahwa “Standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya”. Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung kepada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri. Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif (menunjang) bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah mereka yang: a) taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong, dan bersikap jujur, dan b) menghindari skikap dan perilaku yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai, sikap munafik, mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi, dsb) dan perilaku maksiat lainnya (berzina, berjudi dan minuman keras). Sedangkan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tidak kondusif, atau berpengaruh negatif terhadap perkembangan akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai oleh karakteristik berikut:
  1. Gaya hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang materialistis dan hedonisme, yaitu yang mendewakan materi dan hidupnya sangat berorientasi untuk meraih kenikmatan (walaupun dengan cara yang melanggar aturan agama).
  2. Warga masyarakat (baik yang memegag kekuasaan maupun warga biasa) bersikap melecehkan norma agama, atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan mensponsori kemaksiatan, seperti: perjudian, prostitusi, minuman keras, dan penayangan acara-acara televisi yang merusak aqidah dan akhlak (Yusuf, 2002:53).
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia anak (remaja), maka ketiga lingkungan tersebut secara sinergi harus bekerjasama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana ligkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengn berkembangnya komitmen yang kuat dari masing-masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orangtua, pihak sekolah, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas iklim lingkungan yang kondusif itu dapat dilihat pada bbagan berikut (Yusuf, 2002:54):












BAB III
KESIMPULAN

Manusia yang merupakan homo religius berkembang dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktro internal dan ekternal. Faktor internal atau juga merupakan faktor fitrah dari manusia itu sendiri. Adapun faktor internal merupakan pengaruh dari luar diri manusia sebagai individu. Hal ini berkaitan dengan hubungan sosial dan pengaruh penting dari lingkungan yang ditempati individu tersebut yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Keluarga sangat berperan penting dalam pengembangan kesadaran beragama anak. Dalam Surat At-Tahrim [66]: 6, menunjukan bahwa orangtua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama kepada anak dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka. Diungkapkan pula dalam sebuah hadist, setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), orangtuanyalah yang menjadi anak itu yahudi, nahsrani, atau majusi.
Keberadaan lingkungan sekolah Hurlock (1959) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substansi dari orangtua. Lingkungan masyarakat merupakan interaksi sosial dan sosialkultural yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan beragama anak. Dengan adanya sentuhan atau interaksi dengan sesama di dalam sebuah sosial kemasyarakatan dengan sendirinya kepribadian anak dipengaruhi oleh kebiasaan atau adat masyarakat yang membangunnya.





DAFTAR PUSTAKA


Syamsu Yusuf. (2002). Psikologi Belajar Agama. Bandung: Maestro.
Singgih Gunarsa. (2004). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia
Tim Pustaka Familia. (2006). Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta: Kanisius.
Singgih Gunarsa. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar